Konflik di
Perusahaan PT Drydock World Graha di Batam

Konflik di sebuah
perusahaan galangan kapal PT Drydocks World Graha yang berlokasi di Tanjung
Udang, Batam, bermula setidaknya 8000 karyawan dari perusahaan tersebut turun
untuk berdemonstrasi dan melakukan aksi pembakaran terhadap fasilitas
perusahaan. Konflik ini terjadi pada tanggal 22 April 2010. Media memberitakan
kantor, gudang, dan puluhan mobil dibakar, namun tidak ada korban tewas tetapi
setidaknya 9 orang terluka. Kerusuhan pekerja galangan kapal PT Drydocks World
Graha yang terjadi ini dinilai murni akibat konflik internal perusahaan.
Konflik bermula dari seorang
supervisor asal India yang mengatakan bahwa orang Indonesia “stupid” kepada
tenaga kerja Indonesia. Tetapi pemicu dari kerusuhan ini tidak hanya itu saja,
akumulasi dari rasa kesal terhadap pembedaan dalam gaji dan fasilitas antara
tenaga kerja Indonesia dan tenaga kerja asing merupakan faktor terjadinya
konflik.
Selain itu, dalam
wawancara dengan beberapa karyawan PT. Drydocks, diketahui bahwa perusahaan ini
tidak menerapkan undang-undang yang mengatur dengan jelas perekrutan tenaga
kerja oleh Investasi Asing di Indonesia. Selain itu sistem kerja yang diantaranya
meliputi sistem pengupahan yang dimuat pada Pasal 45 Huruf a UU Ketenagakerjaan
No 13/2003 tidak diterapkan. Pasal ini mengatur bahwa pemberi tenaga kerja
asing (perusahaan) wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga
pendamping untuk alih teknologi dan alih keahlian. Sementara Pasal 45 Huruf b
menyebutkan, pemberi tenaga kerja asing wajib melaksanakan pendidikan dan
pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki tenaga kerja asing tersebut. Pada perusahaan Drydocks ini, tenaga
kerja asing tidak didampingi asisten lokal. Kalaupun didampingi, tenaga kerja
asing tidak melakukan alih teknologi apa pun. Sehingga, pengabaian terhadap
pasal dalam UU ketenagakerjaan ini juga menjadi salah satu pemicu konflik di
perusahaan ini.
Konflik yang terjadi
dalam organisasi, menurut Greenberg & Baron (dalam Dian, 1998) selain dapat
memiliki konsekuensi yang positif, juga dapat memiliki konsekuensi yang
negatif. Konsekuensi yang positif berupa terdorongnya kreatifitas, disiplin,
semangat kerja, kemampuan adaptasi, dan hal-hal yang dapat mendorong kemajuan organisasi.
Sedangkan konsekuensi yang negatif adalah menurunnya produktifitas, melemahnya
semangat kerja, meningkatnya rasa tidak puas dan juga meningkatnya ketegangan
dalam organisasi. Pada kasus PT. Drydocks ini, konsekuensi negatifnya berbuntut
menjadi kerusuhan dan berhentinya produktifitas perusahaan.
Konflik merupakan
sesuatu yang wajar terjadi karena dalam suatu organisasi masing-masing individu
memiliki perbedaan. Robins & Judge (2008) mendefinisikan konflik sebagai
sebuah proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain
telah memengaruhi secara negatif, atau akan mempengaruhi secara negatif,
sesuatu yang menjadi perhatian dan kepentingan pihak pertama
Pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang lain atau organisasi dengan kenyataan apa yang didapatkan dapat menimbulkan konflik. Selain itu, Daniel Webster (dalam Pickering, 2006) menyatakan bahwa konflik adalah:
Pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang lain atau organisasi dengan kenyataan apa yang didapatkan dapat menimbulkan konflik. Selain itu, Daniel Webster (dalam Pickering, 2006) menyatakan bahwa konflik adalah:
- Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain
- Keadaan atau perilaku yang bertentangan
- Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan
- Perseteruan
Menurut Presiden
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Ikbal, selama ini
pekerja di galangan kapal harus memenuhi alat keselamatan kerjanya dengan dana
mereka sendiri, upah mereka juga murah dan dipotong oleh agen karena sebagian
adalah pekerja outsourcing dan tidak ada jaminan kesehatan. FSPMI, yang
membawahi sekitar lima ribu buruh di salah satu anak perusahaan Drydock di
Batam meminta ada perbaikan sistem kerja yang ada di perusahaan tersebut.
Selain itu, berdasarkan wawancara dengan karyawan PT.Drydocks, bahkan tidak ada
satu orangpun, WNI yang menjadi staf tinggi di perusahaan tersebut. Dalam
wawancara tersebut, buruh PT Drydocks World Graha mengemukakan bahwa Diskriminasi
terhadap buruh Indonesia jelas-jelas dirasakan. Diskriminasi itu, antara lain,
terjadi pada gaji dan fasilitas. Untuk level yang sama, gaji dan fasilitas yang
diterima buruh ekspatriat selalu lebih baik daripada buruh Indonesia. Mandor
perusahaan galangan kapal, misalnya, jika posisi itu ditempati buruh
ekspatriat, yang bersangkutan akan mendapat fasilitas tempat tinggal dan
sejumlah kebutuhan bulanan, seperti sabun cuci. Fasilitas seperti ini tidak
akan didapatkan buruh Indonesia. Soal gaji pada level penyelia dengan ijazah
sarjana (S-1), bagi buruh Indonesia sekitar Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta per
bulan. Sementara buruh asing bisa mendapatkan gaji 10 kali lipatnya dan juga
tidak sedikit buruh asing yang bekerja di level mandor sampai penyelia yang
tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dalam level pekerjaan yang
sama, TKA digaji dengan standar dolar Singapura, sedang pekerja tetap Indonesia
menggunakan rupiah yang nilainya di bawah TKA. Perbandingan gaji TKA dengan
pekerja lokal dalam level yang sama sangat jauh. Gaji TKA, minimal 4.500 dolar
Singapura (sekitar Rp30.000.000) , sedang pekerja Indonesia, yang sudah
berpengalaman lima tahun, hanya diberi upah Rp5-7 juta. Selain itu, dalam
konteks penanaman modal asing, alih teknologi sebagaimana disyaratkan
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 ternyata juga banyak tidak
direalisasikan.
Analisa Kasus
Kasus ini dapat
dikategorikan sebagai intergroup conflict, dimana ada konflik terjadi didalam
organisasi antara Tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing, dan juga
tenaga kerja Indonesia dengan PT.Drydocks. Konflik yang terjadi merupakan
konflik horizontal antara sesama tenaga kerja dan juga konflik vertikal, yaitu
antara tenaga kerja Indonesia dengan PT.Drydocks.
Pada awal proses terjadinya konflik, tahap pertama yang terjadi adalah potensi pertentangan atau ketidakselarasan. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah perbedaan gaji antara tenaga kerja Indonesia dan Asing yang jauh sekali, perbedaan fasilitas, tunjangan-tunjangan dan pemotongan gaji oleh outsource. Menurut Robbins (2008), kondisi-kondisi tersebut dipadatkan dalam tiga kategori umum yaitu:
Pada awal proses terjadinya konflik, tahap pertama yang terjadi adalah potensi pertentangan atau ketidakselarasan. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah perbedaan gaji antara tenaga kerja Indonesia dan Asing yang jauh sekali, perbedaan fasilitas, tunjangan-tunjangan dan pemotongan gaji oleh outsource. Menurut Robbins (2008), kondisi-kondisi tersebut dipadatkan dalam tiga kategori umum yaitu:
1.
Komunikasi
Dalam kasus ini yang menjadi sumber konflik yang
diekspos oleh media adalah pernyataan dari Seorang Supervisor berkebangsaan
India pada perusahaan Drydocks yang berbau SARA yang menyatakan bahwa orang
indonesia ‘‘stupid“. Namun sumber konflik yang sebenarnya terjadi bukan hanya
menyangkut isu SARA, melainkan adanya permasalahan dalam komunikasi.
Permasalahan dalam komunikasi juga dapat dilihat ketika mereka jarang bekerja
sama dan berbaur satu sama lainnya. Masing-masing dari mereka lebih senang
berkumpul dan berkomunikasi dengan komunitas asal negara mereka
sendiri-sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh McShane (2005)
bahwa permasalahan komunikasi bisa menjadi sumber konflik.
McShane (2005) juga
mengemukakan bahwa kecenderungan merasa tidak nyaman atau canggung untuk
berinteraksi dengan orang atau individu yang berasal dari budaya yang berbeda membuat
mereka cenderung menggunakan stereotip untuk mengisi kurangnya informasi yang
didapat. Supervisor berkebangsaan India ini menggunakan stereotip dalam menilai
bawahannya yang merupakan tenaga kerja Indonesia. Kalimat ”Indonesian Stupid”
ini digeneralisasi oleh karyawan lainnya seperti yang dikemukakan dalam salah
satu wawancara kami dengan satu karyawan PT. Drydocks. Karyawan ini
mengemukakan bahwa ia merasa harga dirinya sebagai bangsa Indonesia
terinjak-injak yang juga disetujui oleh rekan-rekan sekerjanya. Dapat dilihat
bahwa sumber konflik yang ada juga merupakan adanya perbedaan nilai dan
keyakinan diantara mereka. Menurut Tenaga kerja asing, berkata dengan kalimat
makian pada satu negara adalah hal yang biasa, tapi bagi orang Indonesia bisa
menjadi hal yang diperbesar dan digeneralisasi.
2.
Struktur
Konflik antara TKA dan
TKI ini bersifat struktural karena mencakup variabel-variabel seperti kadar
spesialisasi dalam tugas-tugas yang diberikan dalam organisasi, kejelasan
yurisdikasi, keserasian antara anggota dengan tujuan, sistem imbalan dan gaya
kepimpinanan. Karyawan lokal baru akan diangkat menjadi karyawan tetap setelah
tiga tahun bekerja, tetapi tidak selalu begitu. Kadang beberapa orang karyawan
terus diperpanjang kontraknya sehingga tidak jelas yurisdikasinya. Pada level
pekerjaan yang sama, sistem imbalan yang tidak seimbang menyebabkan sumber
konflik yang besar. Menurut Robbins (2008), ketika perolehan suatu kelompok
dipandang merugikan kelompok lain, maka akan terjadi potensi pertikaian yang
tinggi. Selain itu, diketahui bahwa tidak ada perwakilan orang Indonesia dalam
staf tinggi PT.Drydocks yang berlokasi di Graha ataupun di dua tempat lainnya
di Batam. Sehingga, gaya kepimpinan yang digunakan oleh PT.Drydocks yang
cenderung kepada suatu kelompok juga memperbesar potensi konflik.
3.
Variabel Pribadi
Pada wawancara dengan
Dosen Psikologi Industri dan Organisasi Universitas Indonesia, Drs. Iman
Sukhirman, M. Si bahwa perbedaan nilai dan keyakinan dalam suatu perusahaan
yang dibawa oleh masing-masing individu dari latar belakang dan pengalaman yang
berbeda dapat menjadi sumber konflik, oleh karena itu diperlukan adanya
kesamaan pandangan agar masing-masing tidak membawa nilai dan keyakinannya
masing-masing, tetapi merasa sebagai satu kesatuan. Terjadinya kerusuhan
tersebut juga disebabkan karena adanya ketidakmatangan intelektual, emosi dan
spiritual quotient yang dimiliki tenaga kerja indonesia itu sendiri. Menurut
beliau, tenaga kerja indonesia hanya disuruh bekerja saja, tanpa dibekali ketiga
kemampuan tersebut. Sehingga dalam menghadapi konflik, mereka tidak bisa
berpikir, bertindak dan berperilaku jernih tetapi langsung meresponnya dengan
sikap impulsif, agresi, dan merusak dengan membakar ‘‘lumbung‘‘ yang merupakan
mata pencaharian mereka.
Hal yang sebaiknya dilakukan bukan dengan cara
kekerasan, namun harus menggunakan akal pikiran untuk mengatasi konflik.
Kalaupun mereka marah, setidaknya kemarahan mereka ditunjukkan dengan cara yang
lebih intelektual yaitu lewat jalur hukum. Untuk menyeret bos india ke jalur
hukum harus menggunakan akal dan strategi seperti dengan menyiapkan voice
recorder, kemudian memancing supervisor berkebangsaan india tersebut untuk
mengeluarkan pernyataan yang menghina dan merekamnya sudah cukup bisa dijadikan
cukup bukti. Dengan demikian, keadilan pun akan berpihak pada mereka dengan
dikeluarkannya supervisor india tersebut dari perusahaan tanpa harus merusak
pabrik yang sudah jelas merupakan sumber mata pencaharian mereka. Kemudian beliau melanjutkan pernyataannya
dengan memberikan analogi kasus demonstrasi karyawan di salah satu perusahaan
di Jepang yang menuntut kenaikan gaji, karena dianggap gaji mereka sudah tidak
sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang diminta perusahaan. Karyawan perusahaan
tersebut melakukan demonstrasi berupa mogok kerja hanya pada hari dan jam-jam
tertentu. Kerugian mogok kerja yang dilakukan setiap hari tertentu dan hanya
selama 2-3 jam tersebut di hitung perusahaan mengalami kerugian milyaran
rupiah. Pihak perusahaan kewalahan, karena karyawan tidak melakukan tindakan
anarkis, sehingga pihak perusahaan tidak bisa melakukan apa-apa selain
bernegosiasi tawar-menawar dalam menyelesaikan masalah untuk mencari
kesepakatan bersama antara kedua belah pihak (antara perusahaan dan karyawan).
Sampai akhir April
2010, 70% PT.Drydocks Graha baru bisa beroperasi dikarenakan infrastruktur yang
sempat rusak dan tidak memungkinkan karyawan untuk bekerja dalam beberapa hari
dan menyebabkan kerugian yang cukup besar. Denis Welch selaku Chief executive
officer dari Drydocks-World South Asia kemudian membuat statemen terhadap apa
yang terjadi di Drydocks kepada Pers dan menjelaskan kepada DPR-RI.
Cara Penyelesaian
Sampai saat ini, berita
yang masih terdengar adalah mediasi Pemerintah dalam hal ini Kementerian tenaga
kerja dan transmigrasi sebagai pihak ketiga yang menengahi kasus ini. Menurut
beberapa karyawan PT.Drydocks Graha, negosiasi yang mereka inginkan adalah satu
penyelesaian yang dapat menciptakan solusi menang-menang.
Negosiasi ini disebut
negosiasi integratif yang ditujukan untuk menjaga fleksibelitas. Mereka ingin
PT.Drydocks ditegur dan diawasi pemerintah dalam menjalankan UU tenaga kerja
yang sebenar-benarnya. Melalui Serikat Pekerja Metal Indonesia, diharapkan
aspirasi mereka tersampaikan. Mereka juga mengemukakan bahwa mereka ingin
kondisi yang nyaman untuk bisa bekerja dengan baik, dihargai dan diperlakukan baik
di negeri mereka sendiri.
Menakertrans juga
mengupayakan agar para TKA harus mengerti budaya Indonesia dan menghargainya.
Cara yang digunakan adalah dengan kembali menyebarkan informasi melalui
spanduk-spanduk, pamflet-pamflet untuk mengajak TKA untuk berlaku menghargai
Indonesia dan bersama-sama mencapai kedamaian. Menakertrans juga menghimbau
untuk memperbaiki komunikasi dan saling memahami. PT.Drydocks juga diminta
untuk meninjau ulang kebijakan dalam sistem outsourcingnya, sistem gaji antara
TKA dan TKI, sistem karyawan kontrak untuk tenaga kerja asing, dan fasilitas
dan tunjangan lainnya yang selama ini dibedakan. Sehingga dapat mengurangi
kecemburuan diantara pihak ini. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
McShane (2005) bahwa pendekatan untuk manajemen konflik dapat berupa Reducing
differentition, improving communication and understanding, dan clariflying
rules and procedures.
Sampai saat ini, belum
ada berita dari proses negosiasi diantara pihak-pihak internal PT.Drydocks ini
sehingga konflik ini belum bisa dianalisa lebih lanjut tentang kondisi lanjutan
pasca kerusuhan 22 April ini.
Kesimpulan
- Konflik sering terjadi pada kondisi kerja multikultural dikarenakan adanya pembedaan dan masalah komunikasi diantara karyawan baik horizontal maupun vertikal.
- Konfllik meningkat ketika terjadi perbedaan nilai dan keyakinan, dan variabel pribadi yang memungkinkan untuk cepat terespon dengan pemicu konflik.
- Managemen konflik sangat diperlukan unuk meminimalisir konsekuensi disfungsional dari konflik. Dalam hal ini, kepentingan dari berbagai pihak harus dipertimbangkan sehingga tercipta kondisi yang fungsional.
- Untuk mencapai kondisi yang fungsional, diperlukan adanya resolusi konflik yang dapat membantu mengembalikan fungsi organisai yaitu dengan cara mengurangi perbedaan, memperbaiki komunikasi dan pemahaman dan mengklarifikasi peran dan prosedur.
Saran
- Untuk meminimalisir konflik yang destruktif, PT.Drydocks harus memperhatikan perbedaan kultur diantara karyawannya dan kemudian memutuskan cara pendekatan seperti apa yang sesuai untuk menciptakan kondisi yang baik untuk kepentingan perusahaan.
- Tenaga Kerja Indonesia harus memiliki posisi negosiasi yang kuat untuk tetap memenangkan keinginannya. Untuk itu diperlukan strategi negosiasi yang kuat dan cerdas agar bisa memecahkan konflik yang ada.
- Pemerintah harus memperkuat pengawasannya terhadap perusahaan yang memperkejakan tenaga kerja asing. Dan memastikan apakah perusahaan ini telah melaksanakan UU tenaga kerja dengan baik.
- Tenaga Kerja Asing juga harus memahami budaya dimana ia bekerja dan berusaha untuk membuka komunikasi yang baik, sehingga meminimalisir prasangka.
0 komentar:
Posting Komentar