Senin, 03 Desember 2018

Contoh Konflik di Suatu Perusahaan dan Cara Penyelesaiannya


Konflik di Perusahaan PT Drydock World Graha di Batam 
Hasil gambar untuk Konflik di Perusahaan PT Drydock World Graha di Batam


Konflik di sebuah perusahaan galangan kapal PT Drydocks World Graha yang berlokasi di Tanjung Udang, Batam, bermula setidaknya 8000 karyawan dari perusahaan tersebut turun untuk berdemonstrasi dan melakukan aksi pembakaran terhadap fasilitas perusahaan. Konflik ini terjadi pada tanggal 22 April 2010. Media memberitakan kantor, gudang, dan puluhan mobil dibakar, namun tidak ada korban tewas tetapi setidaknya 9 orang terluka. Kerusuhan pekerja galangan kapal PT Drydocks World Graha yang terjadi ini dinilai murni akibat konflik internal perusahaan.

Konflik bermula dari seorang supervisor asal India yang mengatakan bahwa orang Indonesia “stupid” kepada tenaga kerja Indonesia. Tetapi pemicu dari kerusuhan ini tidak hanya itu saja, akumulasi dari rasa kesal terhadap pembedaan dalam gaji dan fasilitas antara tenaga kerja Indonesia dan tenaga kerja asing merupakan faktor terjadinya konflik.

Selain itu, dalam wawancara dengan beberapa karyawan PT. Drydocks, diketahui bahwa perusahaan ini tidak menerapkan undang-undang yang mengatur dengan jelas perekrutan tenaga kerja oleh Investasi Asing di Indonesia. Selain itu sistem kerja yang diantaranya meliputi sistem pengupahan yang dimuat pada Pasal 45 Huruf a UU Ketenagakerjaan No 13/2003 tidak diterapkan. Pasal ini mengatur bahwa pemberi tenaga kerja asing (perusahaan) wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping untuk alih teknologi dan alih keahlian. Sementara Pasal 45 Huruf b menyebutkan, pemberi tenaga kerja asing wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki tenaga kerja asing tersebut. Pada perusahaan Drydocks ini, tenaga kerja asing tidak didampingi asisten lokal. Kalaupun didampingi, tenaga kerja asing tidak melakukan alih teknologi apa pun. Sehingga, pengabaian terhadap pasal dalam UU ketenagakerjaan ini juga menjadi salah satu pemicu konflik di perusahaan ini.

Konflik yang terjadi dalam organisasi, menurut Greenberg & Baron (dalam Dian, 1998) selain dapat memiliki konsekuensi yang positif, juga dapat memiliki konsekuensi yang negatif. Konsekuensi yang positif berupa terdorongnya kreatifitas, disiplin, semangat kerja, kemampuan adaptasi, dan hal-hal yang dapat mendorong kemajuan organisasi. Sedangkan konsekuensi yang negatif adalah menurunnya produktifitas, melemahnya semangat kerja, meningkatnya rasa tidak puas dan juga meningkatnya ketegangan dalam organisasi. Pada kasus PT. Drydocks ini, konsekuensi negatifnya berbuntut menjadi kerusuhan dan berhentinya produktifitas perusahaan.

Konflik merupakan sesuatu yang wajar terjadi karena dalam suatu organisasi masing-masing individu memiliki perbedaan. Robins & Judge (2008) mendefinisikan konflik sebagai sebuah proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, atau akan mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi perhatian dan kepentingan pihak pertama
Pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang lain atau organisasi dengan kenyataan apa yang didapatkan dapat menimbulkan konflik. Selain itu, Daniel Webster (dalam Pickering, 2006) menyatakan bahwa konflik adalah:
  1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain 
  2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan
  3. Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan
  4. Perseteruan
Menurut Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Ikbal, selama ini pekerja di galangan kapal harus memenuhi alat keselamatan kerjanya dengan dana mereka sendiri, upah mereka juga murah dan dipotong oleh agen karena sebagian adalah pekerja outsourcing dan tidak ada jaminan kesehatan. FSPMI, yang membawahi sekitar lima ribu buruh di salah satu anak perusahaan Drydock di Batam meminta ada perbaikan sistem kerja yang ada di perusahaan tersebut. 

Selain itu, berdasarkan wawancara dengan karyawan PT.Drydocks, bahkan tidak ada satu orangpun, WNI yang menjadi staf tinggi di perusahaan tersebut. Dalam wawancara tersebut, buruh PT Drydocks World Graha mengemukakan bahwa Diskriminasi terhadap buruh Indonesia jelas-jelas dirasakan. Diskriminasi itu, antara lain, terjadi pada gaji dan fasilitas. Untuk level yang sama, gaji dan fasilitas yang diterima buruh ekspatriat selalu lebih baik daripada buruh Indonesia. Mandor perusahaan galangan kapal, misalnya, jika posisi itu ditempati buruh ekspatriat, yang bersangkutan akan mendapat fasilitas tempat tinggal dan sejumlah kebutuhan bulanan, seperti sabun cuci. Fasilitas seperti ini tidak akan didapatkan buruh Indonesia. Soal gaji pada level penyelia dengan ijazah sarjana (S-1), bagi buruh Indonesia sekitar Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta per bulan. Sementara buruh asing bisa mendapatkan gaji 10 kali lipatnya dan juga tidak sedikit buruh asing yang bekerja di level mandor sampai penyelia yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dalam level pekerjaan yang sama, TKA digaji dengan standar dolar Singapura, sedang pekerja tetap Indonesia menggunakan rupiah yang nilainya di bawah TKA. Perbandingan gaji TKA dengan pekerja lokal dalam level yang sama sangat jauh. Gaji TKA, minimal 4.500 dolar Singapura (sekitar Rp30.000.000) , sedang pekerja Indonesia, yang sudah berpengalaman lima tahun, hanya diberi upah Rp5-7 juta. Selain itu, dalam konteks penanaman modal asing, alih teknologi sebagaimana disyaratkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 ternyata juga banyak tidak direalisasikan.


Analisa Kasus
Kasus ini dapat dikategorikan sebagai intergroup conflict, dimana ada konflik terjadi didalam organisasi antara Tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing, dan juga tenaga kerja Indonesia dengan PT.Drydocks. Konflik yang terjadi merupakan konflik horizontal antara sesama tenaga kerja dan juga konflik vertikal, yaitu antara tenaga kerja Indonesia dengan PT.Drydocks.

Pada awal proses terjadinya konflik, tahap pertama yang terjadi adalah potensi pertentangan atau ketidakselarasan. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah perbedaan gaji antara tenaga kerja Indonesia dan Asing yang jauh sekali, perbedaan fasilitas, tunjangan-tunjangan dan pemotongan gaji oleh outsource. Menurut Robbins (2008), kondisi-kondisi tersebut dipadatkan dalam tiga kategori umum yaitu:

1.      Komunikasi
Dalam kasus ini yang menjadi sumber konflik yang diekspos oleh media adalah pernyataan dari Seorang Supervisor berkebangsaan India pada perusahaan Drydocks yang berbau SARA yang menyatakan bahwa orang indonesia ‘‘stupid“. Namun sumber konflik yang sebenarnya terjadi bukan hanya menyangkut isu SARA, melainkan adanya permasalahan dalam komunikasi. Permasalahan dalam komunikasi juga dapat dilihat ketika mereka jarang bekerja sama dan berbaur satu sama lainnya. Masing-masing dari mereka lebih senang berkumpul dan berkomunikasi dengan komunitas asal negara mereka sendiri-sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh McShane (2005) bahwa permasalahan komunikasi bisa menjadi sumber konflik. 

McShane (2005) juga mengemukakan bahwa kecenderungan merasa tidak nyaman atau canggung untuk berinteraksi dengan orang atau individu yang berasal dari budaya yang berbeda membuat mereka cenderung menggunakan stereotip untuk mengisi kurangnya informasi yang didapat. Supervisor berkebangsaan India ini menggunakan stereotip dalam menilai bawahannya yang merupakan tenaga kerja Indonesia. Kalimat ”Indonesian Stupid” ini digeneralisasi oleh karyawan lainnya seperti yang dikemukakan dalam salah satu wawancara kami dengan satu karyawan PT. Drydocks. Karyawan ini mengemukakan bahwa ia merasa harga dirinya sebagai bangsa Indonesia terinjak-injak yang juga disetujui oleh rekan-rekan sekerjanya. Dapat dilihat bahwa sumber konflik yang ada juga merupakan adanya perbedaan nilai dan keyakinan diantara mereka. Menurut Tenaga kerja asing, berkata dengan kalimat makian pada satu negara adalah hal yang biasa, tapi bagi orang Indonesia bisa menjadi hal yang diperbesar dan digeneralisasi.

2.      Struktur
Konflik antara TKA dan TKI ini bersifat struktural karena mencakup variabel-variabel seperti kadar spesialisasi dalam tugas-tugas yang diberikan dalam organisasi, kejelasan yurisdikasi, keserasian antara anggota dengan tujuan, sistem imbalan dan gaya kepimpinanan. Karyawan lokal baru akan diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga tahun bekerja, tetapi tidak selalu begitu. Kadang beberapa orang karyawan terus diperpanjang kontraknya sehingga tidak jelas yurisdikasinya. Pada level pekerjaan yang sama, sistem imbalan yang tidak seimbang menyebabkan sumber konflik yang besar. Menurut Robbins (2008), ketika perolehan suatu kelompok dipandang merugikan kelompok lain, maka akan terjadi potensi pertikaian yang tinggi. Selain itu, diketahui bahwa tidak ada perwakilan orang Indonesia dalam staf tinggi PT.Drydocks yang berlokasi di Graha ataupun di dua tempat lainnya di Batam. Sehingga, gaya kepimpinan yang digunakan oleh PT.Drydocks yang cenderung kepada suatu kelompok juga memperbesar potensi konflik.

3. Variabel Pribadi
Pada wawancara dengan Dosen Psikologi Industri dan Organisasi Universitas Indonesia, Drs. Iman Sukhirman, M. Si bahwa perbedaan nilai dan keyakinan dalam suatu perusahaan yang dibawa oleh masing-masing individu dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda dapat menjadi sumber konflik, oleh karena itu diperlukan adanya kesamaan pandangan agar masing-masing tidak membawa nilai dan keyakinannya masing-masing, tetapi merasa sebagai satu kesatuan. Terjadinya kerusuhan tersebut juga disebabkan karena adanya ketidakmatangan intelektual, emosi dan spiritual quotient yang dimiliki tenaga kerja indonesia itu sendiri. Menurut beliau, tenaga kerja indonesia hanya disuruh bekerja saja, tanpa dibekali ketiga kemampuan tersebut. Sehingga dalam menghadapi konflik, mereka tidak bisa berpikir, bertindak dan berperilaku jernih tetapi langsung meresponnya dengan sikap impulsif, agresi, dan merusak dengan membakar ‘‘lumbung‘‘ yang merupakan mata pencaharian mereka. 

Hal yang sebaiknya dilakukan bukan dengan cara kekerasan, namun harus menggunakan akal pikiran untuk mengatasi konflik. Kalaupun mereka marah, setidaknya kemarahan mereka ditunjukkan dengan cara yang lebih intelektual yaitu lewat jalur hukum. Untuk menyeret bos india ke jalur hukum harus menggunakan akal dan strategi seperti dengan menyiapkan voice recorder, kemudian memancing supervisor berkebangsaan india tersebut untuk mengeluarkan pernyataan yang menghina dan merekamnya sudah cukup bisa dijadikan cukup bukti. Dengan demikian, keadilan pun akan berpihak pada mereka dengan dikeluarkannya supervisor india tersebut dari perusahaan tanpa harus merusak pabrik yang sudah jelas merupakan sumber mata pencaharian mereka.  Kemudian beliau melanjutkan pernyataannya dengan memberikan analogi kasus demonstrasi karyawan di salah satu perusahaan di Jepang yang menuntut kenaikan gaji, karena dianggap gaji mereka sudah tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang diminta perusahaan. Karyawan perusahaan tersebut melakukan demonstrasi berupa mogok kerja hanya pada hari dan jam-jam tertentu. Kerugian mogok kerja yang dilakukan setiap hari tertentu dan hanya selama 2-3 jam tersebut di hitung perusahaan mengalami kerugian milyaran rupiah. Pihak perusahaan kewalahan, karena karyawan tidak melakukan tindakan anarkis, sehingga pihak perusahaan tidak bisa melakukan apa-apa selain bernegosiasi tawar-menawar dalam menyelesaikan masalah untuk mencari kesepakatan bersama antara kedua belah pihak (antara perusahaan dan karyawan).

Sampai akhir April 2010, 70% PT.Drydocks Graha baru bisa beroperasi dikarenakan infrastruktur yang sempat rusak dan tidak memungkinkan karyawan untuk bekerja dalam beberapa hari dan menyebabkan kerugian yang cukup besar. Denis Welch selaku Chief executive officer dari Drydocks-World South Asia kemudian membuat statemen terhadap apa yang terjadi di Drydocks kepada Pers dan menjelaskan kepada DPR-RI.


Cara Penyelesaian

Sampai saat ini, berita yang masih terdengar adalah mediasi Pemerintah dalam hal ini Kementerian tenaga kerja dan transmigrasi sebagai pihak ketiga yang menengahi kasus ini. Menurut beberapa karyawan PT.Drydocks Graha, negosiasi yang mereka inginkan adalah satu penyelesaian yang dapat menciptakan solusi menang-menang. 

Negosiasi ini disebut negosiasi integratif yang ditujukan untuk menjaga fleksibelitas. Mereka ingin PT.Drydocks ditegur dan diawasi pemerintah dalam menjalankan UU tenaga kerja yang sebenar-benarnya. Melalui Serikat Pekerja Metal Indonesia, diharapkan aspirasi mereka tersampaikan. Mereka juga mengemukakan bahwa mereka ingin kondisi yang nyaman untuk bisa bekerja dengan baik, dihargai dan diperlakukan baik di negeri mereka sendiri.

Menakertrans juga mengupayakan agar para TKA harus mengerti budaya Indonesia dan menghargainya. Cara yang digunakan adalah dengan kembali menyebarkan informasi melalui spanduk-spanduk, pamflet-pamflet untuk mengajak TKA untuk berlaku menghargai Indonesia dan bersama-sama mencapai kedamaian. Menakertrans juga menghimbau untuk memperbaiki komunikasi dan saling memahami. PT.Drydocks juga diminta untuk meninjau ulang kebijakan dalam sistem outsourcingnya, sistem gaji antara TKA dan TKI, sistem karyawan kontrak untuk tenaga kerja asing, dan fasilitas dan tunjangan lainnya yang selama ini dibedakan. Sehingga dapat mengurangi kecemburuan diantara pihak ini. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh McShane (2005) bahwa pendekatan untuk manajemen konflik dapat berupa Reducing differentition, improving communication and understanding, dan clariflying rules and procedures.

Sampai saat ini, belum ada berita dari proses negosiasi diantara pihak-pihak internal PT.Drydocks ini sehingga konflik ini belum bisa dianalisa lebih lanjut tentang kondisi lanjutan pasca kerusuhan 22 April ini.

Kesimpulan
  • Konflik sering terjadi pada kondisi kerja multikultural dikarenakan adanya pembedaan dan masalah komunikasi diantara karyawan baik horizontal maupun vertikal. 
  • Konfllik meningkat ketika terjadi perbedaan nilai dan keyakinan, dan variabel pribadi yang memungkinkan untuk cepat terespon dengan pemicu konflik. 
  • Managemen konflik sangat diperlukan unuk meminimalisir konsekuensi disfungsional dari konflik. Dalam hal ini, kepentingan dari berbagai pihak harus dipertimbangkan sehingga tercipta kondisi yang fungsional. 
  • Untuk mencapai kondisi yang fungsional, diperlukan adanya resolusi konflik yang dapat membantu mengembalikan fungsi organisai yaitu dengan cara mengurangi perbedaan, memperbaiki komunikasi dan pemahaman dan mengklarifikasi peran dan prosedur.

Saran
  • Untuk meminimalisir konflik yang destruktif, PT.Drydocks harus memperhatikan perbedaan kultur diantara karyawannya dan kemudian memutuskan cara pendekatan seperti apa yang sesuai untuk menciptakan kondisi yang baik untuk kepentingan perusahaan. 
  • Tenaga Kerja Indonesia harus memiliki posisi negosiasi yang kuat untuk tetap memenangkan keinginannya. Untuk itu diperlukan strategi negosiasi yang kuat dan cerdas agar bisa memecahkan konflik yang ada.
  • Pemerintah harus memperkuat pengawasannya terhadap perusahaan yang memperkejakan tenaga kerja asing. Dan memastikan apakah perusahaan ini telah melaksanakan UU tenaga kerja dengan baik.
  • Tenaga Kerja Asing juga harus memahami budaya dimana ia bekerja dan berusaha untuk membuka komunikasi yang baik, sehingga meminimalisir prasangka.


0 komentar:

Posting Komentar